Belajar dari Pembelajaran Jarak Jauh

Guru di Kota Batu
Belajar dari Pembelajaran Jarak Jauh 16/09/2021 904 view Pendidikan kumparan.com

Perubahan metode pembelajaran dari tatap muka di ruang kelas menjadi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dari rumah selama pandemi Covid 19 telah memberikan banyak pelajaran bagi dunia pendidikan nasional. Momentum ini dapat menjadi bahan evaluasi sekaligus rencana tindak lanjut untuk sistem pendidikan nasional ke depan. Teknologi pendidikan yang sempat menjadi prioritas untuk mengejar ketertinggalan pendidikan dari negara lain nampaknya bukanlah permasalahan utama.

Jika melihat pengalaman di lapangan, ada siswa yang memiliki fasilitas lengkap dalam teknologi penunjang PJJ, akan tetapi malah tidak begitu aktif dalam proses kegiatan pembelajaran. Sebaliknya, ada banyak siswa di tengah keterbatasan fasilitas yang dimiliki, akan tetapi begitu aktif dan semangat untuk terus mengikuti proses PJJ. Meskipun demikian, ada juga siswa di tengah keterbatasan fasilitas juga tidak dapat mengikuti kegiatan PJJ secara aktif.

Konsep “merdeka belajar” bisa dimaknai “merdeka, tidak belajar” oleh sebagian siswa jika kesadaran belajar siswa masih lemah. Satu tahun pelaksanaan PJJ, memberikan gambaran bagaimana kemandirian siswa dalam belajar.

Konsep merdeka belajar yang bertujuan untuk menciptakan suasana belajar yang bahagia tanpa dibebani dengan pencapaian nilai tertentu juga bisa dimaknai berbeda oleh siswa. Akhirnya, tak jarang siswa saat ini memiliki orientasi belajar yang cenderung asal-asalan.

Model PJJ seperti saat ini juga telah memberikan gambaran jika model tersebut tidak bisa disamakan dengan homeschooling. Kebetulan isteri saya telah menjadi guru di homeschooling selama hampir sepuluh tahun.

Ketika isteri saya melaksanakan pembelajaran ala homeschooling, saya melihat jika pembelajaran yang dilakukan memang tanpa terbatas ruang dan waktu. Mulai dari waktu pembelajaran yang fleksibel, tergantung kesepakatan antara guru dan siswa, posisi siswa yang tidak selalu di rumah, terkadang saat pembelajaran ada di Pulau Bali, Jakarta, dan tempat yang lain. Meskipun demikian, pembelajaran tetap bisa dilakukan dengan serius dan mengalir. Alumninya juga bisa masuk di perguruan tinggi favorit baik dalam maupun luar negeri.

Kebiasaan dari kegiatan pembelajaran yang dilakukan di homeschooling itu membuat saya optimis bisa menerapkannya pada sekolah formal pada saat awal pandemi Covid-19 dulu. Namun, satu setengah tahun pelaksanaan PJJ telah menjadi bahan refleksi tersendiri bagi saya.

Keberhasilan model pembelajaran homeschooling tersebut, belum tentu bisa diterapkan pada pembelajaran di semua sekolah formal. Banyak faktor yang mempengaruhinya, mulai dari kondisi ekonomi, ketersediaan sarana-prasarana, jumlah siswa saat proses pembelajaran, dan juga kesadaran belajar siswa yang memang berbeda.

Permasalahan selama PJJ selama ini, juga tidak adil jika hanya berfokus pada penyebab yang dilakukan oleh siswa. Paradigma dan model pembelajaran yang dilakukan oleh sekolah maupun guru selama PJJ juga harus menjadi fokus perhatian.

Konsep “merdeka mengajar” para guru harus betul-betul bisa dimaknai secara mendalam dan dilakukan dengan penuh tanggung jawab oleh guru. Jangan sampai konsep “merdeka mengajar” berubah menjadi “merdeka, tidak mengajar” selama PJJ ini.

Penjelasan dari Ki Hadjar Dewantara bahwa guru adalah “abdi sang siswa” dan bukan “penguasa atas jiwa siswa” sangat relevan untuk menghadapi tantangan dalam pola mendidik saat ini. Guru sejatinya adalah sosok yang sangat terbuka dengan perubahan.

Apalagi setiap siswa dari tahun ke tahun selalu memiliki keunikan yang berbeda sesuai dengan kondisi lingkungan dan keadaan zaman. Guru harus bisa menyesuaikan pola pembelajaran yang diharapkan oleh siswa itu, bukan memaksakan pembelajaran yang sesuai dengan kehendak guru.

Kompetensi seorang guru sangat menentukan bagaimana keberhasilan akan proses kegiatan pembelajaran. Guru harus memiliki kesucian niat untuk mendidik siswanya dengan penuh kasih sayang. Jika idealisme itu dipegang teguh oleh guru, saya yakin pada posisi apapun dan dimanapun guru akan selalu “optimis” dalam menjalankan tugas mencerdaskan kehidupan bangsa, termasuk saat PJJ seperti saat ini.

Permasalahan-permasalahan sosial yang ditimbulkan akibat PJJ saat ini setidaknya bisa memberikan gambaran terkait kondisi pendidikan di Indonesia. Belajar dari permasalahan siswa dan guru dalam proses kegiatan PJJ, maka penyelesaian masalah pendidikan di Indonesia tidak bisa digeneralisasi pada satu permasalahan saja, akan tetapi juga harus melihat dari berbagai macam faktor.

Digitalisasi melalui teknologi pendidikan memang dibutuhkan untuk menjawab tantangan zaman saat ini Namun, permasalahan mendasar seperti “kemandirian belajar” siswa maupun “kompetensi guru” juga harus menjadi fokus perhatian.

“Setiap orang adalah guru, dan setiap tempat adalah sekolah”. Filosofi dari Ki Hajar Dewatara tersebut menjadi penyemangat bagi para pendidik untuk terus melakukan proses kegiatan pembelajaran tanpa ruang kelas yang sudah berjalan lebih dari satu tahun ini.

Pendidik sejati selalu memiliki kepribadian yang tulus ikhlas mengabdi untuk keberhasilan para siswanya. Kreativitas dan inovasi menjadi kunci bagi seorang pendidik, sehingga tidak ada alasan untuk tidak melakukan sebuah proses pembelajaran meskipun di tengah keterbatasan sarana prasarana, ruang, waktu, sampai penguasaan teknologi.

Tiga semester pelaksanaan sekolah di rumah sudah selayaknya menjadi bahan refleksi para insan pendidikan di Indonesia. Perubahan paradigma, penyesuaian pendekatan dan metode pembelajaran menjadi keharusan semua guru dalam menghadapi setiap fenomena pendidikan yang berkembang, termasuk saat ini yang hampir semua wilayah di Indonesia sudah mulai melaksanakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) secara terbatas.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya