Ketika Janji Gizi Berubah Menjadi Ancaman Keracunan

Mahasiswa di UIN Raden Mas Said Surakarta
Ketika Janji Gizi Berubah Menjadi Ancaman Keracunan 11/10/2025 84 view Lainnya encrypted-tbn0.gstatic.com

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) lahir dari cita-cita luhur untuk menciptakan Generasi Emas Indonesia yang bebas dari stunting. Program ini adalah janji politik besar yang diharapkan menjadi solusi permanen atas masalah gizi kronis. Namun, janji manis tersebut belakangan terasa menjauh dari realitas. Gelombang kasus keracunan massal telah berulang kali terjadi di berbagai wilayah, dari Garut, Bandung Barat, hingga Banggai Kepulauan, mengubah harapan menjadi kecemasan kolektif. Anak-anak sekolah mengalami gejala yang sama—mual, muntah, diare, dan demam—tak lama setelah mengonsumsi menu MBG. Tragedi ini bukan lagi insiden tunggal, melainkan sebuah pola berulang yang mendesak untuk dikritisi secara serius.

Ironi di Balik Anggaran Triliunan

Kasus keracunan ini terjadi di tengah alokasi anggaran triliunan rupiah yang dialokasikan secara besar-besaran untuk MBG, bahkan mencuil dari pos Anggaran Pendidikan.

Dengan dana sebesar itu dan target mulia, publik wajar menuntut jaminan kualitas tertinggi. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Data dari lembaga resmi seperti Badan Gizi Nasional (BGN), Kementerian Kesehatan, dan BPOM menunjukkan bahwa ribuan anak telah menjadi korban keracunan sepanjang tahun ini.

Angka ribuan korban tersebut bukan sekadar statistik; setiap anak yang sakit adalah trauma bagi keluarga dan pukulan telak bagi kredibilitas program. Keracunan yang berulang justru berpotensi merusak sistem pencernaan anak, yang bertentangan langsung dengan tujuan program mengatasi stunting.

Respons yang terkesan meremehkan atau mencari kambing hitam—seperti menyalahkan wadah plastik—hanya menunjukkan ketidakpekaan dan meningkatkan kekhawatiran orang tua, yang pada akhirnya memilih menghindari program MBG karena takut anak mereka menjadi korban berikutnya.

Ambisi yang Buta Kualitas dan Keamanan Pangan

Akar permasalahan dari keracunan massal ini terletak pada ambisi kuantitas yang begitu besar dan terburu-buru, sehingga melupakan pondasi kualitas dan keamanan pangan. Demi mencapai target puluhan juta penerima manfaat, program dilaksanakan masif tanpa didukung sistem tata kelola dan pengawasan yang matang. Fokus BGN tampak terpusat pada kecepatan pendirian Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur penyedia MBG, seringkali mengabaikan kualitas pangan itu sendiri.

Temuan lapangan menunjukkan banyak SPPG yang tidak memiliki atau tidak menjalankan SOP keamanan pangan yang memadai. Sertifikasi Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS) seolah hanya menjadi dokumen formalitas. Pakar keamanan pangan memperingatkan bahaya dari produksi makanan skala besar yang tidak terkontrol, dengan faktor-faktor sistemik berikut, pertama, praktik masak yang keliru, makanan sering dimasak jauh lebih awal dari waktu konsumsi. Makanan kaya nutrisi yang dibiarkan terlalu lama pada suhu ruangan menjadi tempat ideal bagi bakteri seperti E. coli dan Salmonella untuk berkembang biak, mengubah nutrisi menjadi racun.

Kedua, rantai pasok yang tidak terjamin. Pengawasan terhadap supplier bahan baku sangat lemah, membuat bahan yang tidak segar luput dari audit.

Ketiga, keterbatasan sumber daya manusia. Juru masak di dapur MBG seringkali direkrut dengan minim pelatihan higienitas dan keamanan pangan. Memasak untuk ribuan anak adalah tanggung jawab profesional.

Keempat, minimnya infrastruktur dapur. Banyak dapur SPPG yang dibangun terburu-buru tidak memenuhi standar pemisahan ruang penyimpanan, proses pendinginan, dan distribusi yang cepat.

Di tengah isu keracunan, muncul kritik tajam terkait kualitas gizi, dengan temuan menu yang sangat minim. Ini menimbulkan pertanyaan apakah MBG betul-betul "bergizi" atau hanya program pembagian makanan mahal tanpa mutu terjamin.

Selain itu, kebijakan ini juga mengancam kelangsungan hidup kantin sekolah dan ekonomi lokal. Jika pelaksanaannya terus mengancam kesehatan anak, noble purpose (tujuan mulia) program akan luntur dan berganti label menjadi the peril of philanthropy (bahaya dari kedermawanan).

Menyelamatkan Kebijakan: Moratorium dan Audit Total

Pemerintah harus menghentikan sikap defensif dan segera menyelamatkan MBG sebelum citranya hancur. Pemerintah perlu berani menerapkan moratorium skala massal terhadap pelaksanaan program di semua wilayah yang memiliki riwayat kasus keracunan berulang. Penghentian ini adalah waktu krusial untuk audit total dan pembenahan sistem.

Selanjutnya, harus ada audit keamanan pangan independen yang melibatkan ahli gizi, epidemiolog, sanitarian, dan masyarakat sipil. Audit harus mencakup setiap SPPG dari gudang hingga distribusi, dan hasilnya harus membuka jalan bagi sanksi tegas kepada kontraktor atau pengelola yang lalai. BGN juga harus mengubah fokus dari "kuantitas" dapur menjadi "kualitas" rantai pasok. Sertifikasi higienitas dan pelatihan SDM berkala adalah prasyarat mutlak.

Terakhir, transparansi anggaran sangat penting. Setiap rupiah yang digelontorkan harus dipertanggungjawabkan kepada publik, yang berhak mengawasi dana triliunan tersebut digunakan untuk menjamin keamanan dan mutu gizi anak mereka. Anak-anak Indonesia berhak mendapatkan gizi terbaik melalui program yang aman, terjamin, dan akuntabel. Jangan biarkan ambisi politik mengorbankan kesehatan anak bangsa. Jika program ini dilanjutkan tanpa perbaikan fundamental, anggaran besar yang dikeluarkan hanya akan meninggalkan catatan hitam berupa penderitaan massal.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya