Melawan Dua Kali Lipat: Perempuan Disabilitas Rentan Menjadi Korban Pelecehan Seksual

Pelecehan seksual adalah isu serius yang merajalela di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sayangnya, kaum perempuan dengan disabilitas di Indonesia menjadi kelompok yang rentan dan terpinggirkan, seringkali menjadi korban dari pelecehan seksual. Mereka menghadapi dua kali lipat diskriminasi, sebagai perempuan dan sebagai kaum disabilitas. Terkadang mereka sulit untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan yang layak. Kasus-kasus yang terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah contoh tragis yang menggarisbawahi perlunya tindakan tegas untuk melindungi hak-hak perempuan disabilitas.
Salah satu contoh kasus yang mencatatkan adanya pelecehan seksual terhadap perempuan disabilitas di NTT adalah kisah seorang gadis remaja dengan disabilitas mental yang menjadi korban pelecehan oleh anggota keluarganya sendiri. Gadis tersebut mengalami keterbatasan dalam berkomunikasi dan tergantung pada keluarganya untuk perawatan harian. Sayangnya, situasi ini dimanfaatkan oleh anggota keluarganya yang seharusnya melindunginya. Ketidakpercayaan keluarga pada laporan korban dan stigma terhadap disabilitas menjadi penghambat dalam mengungkap dan menindak pelaku kejahatan tersebut.
Selain itu, kisah seorang gadis muda, E (22) dengan disabilitas mental dan disabilitas intelektual di Kecamatan Fatuleu, Kabupaten, Nusa Tenggara Timur (NTT). Korban yang tidak berdaya, diperkosa secara bergilir oleh tiga orang pemuda yang merupakan tetangganya sendiri. Dia menjadi target empuk bagi tetangga yang mengetahui keterbatasan mentalnya dan dengan sadar memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan pelecehan seksual terhadapnya. (Sumber: Detik.com, 25 April 2022).
Kasus lain melibatkan seorang perempuan disabilitas ganda; tuna rungu, tuna wicara dan tuna grahita. Perempuan itu berinisial F (20), warga Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Ia menjadi korban rudapaksa selama kurang lebih 3 tahun oleh terduga ayah kandungnya sendiri. Perempuan penyandang disabilitas itu bahkan sudah dua kali melahirkan bayinya (Sumber: Beritasatu.com, 15 Januari 2023).
Kasus-kasus ini hanya beberapa dari banyak cerita mengerikan tentang perempuan disabilitas yang menjadi korban pelecehan seksual. Masalah ini harus dihadapi dengan serius oleh masyarakat, pemerintah, dan lembaga terkait. Diperlukan pendekatan edukasi yang lebih berfokus pada perlindungan hak dan kesadaran akan kejahatan seksual terhadap perempuan disabilitas. Pendidikan ini harus mencakup pelatihan bagi staf dan anggota keluarga yang bekerja dengan atau merawat perempuan disabilitas untuk mengidentifikasi dan mencegah pelecehan.
Kasus-kasus semacam ini menggarisbawahi perlunya pendekatan holistik dalam melindungi perempuan disabilitas dari pelecehan seksual. Pertama, masyarakat perlu meningkatkan kesadaran akan hak-hak perempuan disabilitas dan menghilangkan stereotipe dan stigma negatif terhadap mereka. Pendidikan tentang kekerasan gender dan pelecehan seksual harus lebih ditingkatkan di semua tingkatan masyarakat.
Kedua, sistem hukum dan peradilan harus diperkuat untuk memberikan perlindungan yang lebih baik bagi perempuan disabilitas. Perlu ada kebijakan yang jelas dan ketegasan dalam mengatasi kasus pelecehan seksual terhadap kaum disabilitas. Mekanisme pelaporan dan penanganan kasus juga harus lebih sensitif terhadap kebutuhan dan keterbatasan perempuan disabilitas. Sanksi yang tegas harus diberlakukan bagi para pelaku kejahatan ini agar masyarakat memahami bahwa perbuatan tersebut tidak akan ditoleransi dan akan mendapatkan hukuman setimpal.
Ketiga, institusi sosial dan pemerintah harus menyediakan akses yang lebih mudah bagi perempuan disabilitas untuk mendapatkan dukungan dan bantuan, baik dalam hal pendidikan, layanan kesehatan, maupun konseling. Peningkatan aksesibilitas di fasilitas publik dan transportasi juga menjadi kunci untuk memastikan bahwa perempuan disabilitas dapat hidup secara mandiri dan aman.
Keempat, keluarga dan masyarakat harus berperan aktif dalam memberikan dukungan dan perlindungan bagi perempuan disabilitas. hal ini dapat dilakukan dengan cara melibatkan mereka dalam pendidikan tentang hak-hak mereka, mendengarkan dan memahami pengalaman mereka, serta tidak menjadi bagian dari penindasan atau pembiaran atas kasus pelecehan seksual.
Kasus-kasus pelecehan seksual terhadap perempuan disabilitas di NTT dan di seluruh Indonesia harus menjadi panggilan bagi kita semua untuk bertindak. Kita harus memastikan bahwa perempuan disabilitas diberikan perlindungan yang layak dan setara, dan bahwa hak-hak mereka dihormati sepenuhnya. Melalui kesadaran, pendidikan, dan tindakan nyata, kita dapat menciptakan masyarakat yang aman dan inklusif bagi semua, tanpa terkecuali.
Dalam menghadapi masalah pelecehan seksual terhadap perempuan disabilitas, kita perlu berbicara, mendengar, dan bertindak sebagai masyarakat yang peduli dan inklusif. Dengan demikian, kita dapat menciptakan lingkungan yang aman dan ramah bagi perempuan disabilitas, sehingga mereka bisa hidup dengan martabat dan tanpa ketakutan.
Artikel Lainnya
-
34906/10/2023
-
239409/12/2019
-
145610/05/2020
-
Diplomasi Publik Uni Eropa di Indonesia; Menarik Hati Anak Muda Lewat Budaya dan Beasiswa
13406/07/2025 -
Tawuran dan Dampak Negatif Perkelahian di Kalangan Anak Muda
932924/12/2023 -
Ketika Demokrasi Dinodai Oleh Militerisme
260014/01/2020