Menelanjangi Food Estate Indonesia Perspektif Rezim Pangan

Menelanjangi Food Estate Indonesia Perspektif Rezim Pangan 26/10/2021 1141 view Ekonomi pantaugambut.id

Wacana poskolonial beragam warna, terutama dalam bentuk aspek tema yang dikaji. Studi poskolonial muncul pada kisaran 1970-an. Namun, dalam beberapa catatan lain, titik berangkat poskolonial berasal dari Bandung, Indonesia pada tahun 1955. Utuhnya, dalam Konferensi Asia Afrika yang menghasilkan beberapa poin yang kemudian tersusun rapi dalam Dasasila Bandung.

Koloni, merujuk pada Ensiklopedia Nasional Indonesia (1997:44), adalah suatu tempat yang kosong kemudian didatangi oleh sekelompok dari bangsa tertentu dengan dalih untuk menghuni daerah tersebut. Pada perkembangan selanjutnya, karena dominasi pendatang baru, maka penduduk asli mulai tergeser, bahkan tersingkir.

Kolonialisme tidak bisa lepas dari istilah ‘imperialisme’, karena bagaimana pun motif kolonial, selalu ada selubung kiat untuk menguasai dan ambisi. Kekuasaan dan kepentingan ini kemudian menjelma menjadi kebutuhan politis. Lain istilah, kolonialisme adalah hampir selalu konsekuensi dari imperialisme itu sendiri.

Wacana kolonialism-imperialisme ini kemudian digunakan oleh kaum Barat sebagai senjata hegemoni-subordinasi-dominasi atas bangsa non-Barat. Oleh Edward Said dalam karyanya Orientalisme, membentuk subdisiplin akademik secara rapi tentang bagaimana hubungan antara konsep dan representasi dalam memahami ideologi kolonialisme (I Putu Hendra, dkk, 2019).

Dalam membentuk klasifikasi itu, Edward Said mengadopsi metode Michele Foucault yang menyatakan bahwa ideologi kolonialisme dibangun melalui kontruksi diskursif. Pertama, ideologi kolonial tidak hanya berjalan melalui kesadaran, tetapi juga praksis material. Kedua, ada interaksi antara politik kepentingan dengan ilmu pengetahuan dan. Ketiga, ideologi tersebut bersifat self generating, artinya meregenerasi sendiri.

Besi Tua Kolonial dan Relativitas Poskolonial

Yang disayangkan selama ini adalah disorientasi definisi post. Dalam isitilah Indonesia, kata tersebut lumrah dimaknai dengan makna ‘pasca’ atau ‘setelah’. Terlalu sempit dan pendek dengan mengartikan ‘waktu setelah’. Padahal poskolonial cakupannya lebih luas mengacu pada segala yang terkait dengan kolonialisme yang ada pada abad ke-21.

Kata post sebaiknya diartikan sebagai ‘melampaui’ sehingga poskolonial adalah kajian yang melampaui kolonialisme, artinya bisa berupa pasca atau permasalahan lain yang masih terkait meskipun tampak seperti terpisah dari kolonialisme. Kajian poskolonial berusaha untuk membongkar fenomena dan segala bentuk struktur yang terjadi di era kolonial, bahkan lebih dari pada itu, juga menganalisis dampak yang diakibatkan di masa sekarang (Nurhadi, 2007).

Pembahasan poskolonial adalah bentuk kritik atas fantasi kolonial dalam menormalisasi praksis Barat atas Timur. Terlebih, dalam beberapa pembahasan lain yang berangkat dari toeri Hegemoni Gramsci, dalam wacana kolonial-imperial merupakan tugas Barat untuk menggempur Timur. Pada sisi lain, pemikiran ini mendapat balasan dari Gayatri Spivak.

Pendapatnya mengenai pembahasan poskolonial, adalah sebuah counter knowledge. Secara umum, ia menaruh perhatian akan kelanjutan kekerasan epistemik bangsa Barat atas Timur. Pun, sejarawan antikolonial sekarang mulai menuliskan sejarah yang berangkat dari suara the voiceless-marginalized yang selama beberapa generasi menjadi delusi dan bahan onani orang Barat.

Teori poskolonial memiliki arti penting, dianggap mampu untuk mengungkap masalah-masalah tersembunyi yang terkandung di balik kenyataan yang pernah terjadi. Secara definitif, kajian poskolonial memang hendak menganalisis era kolonial, maka ini adalah bentuk varian baru untuk memantik semangat nasionalisme, belajar dari masa lalu, dan medium pemantik kesadaran (Ratna, 2008).

Berpijak pada uraian di atas, maka poskolonial dibangun atas dasar peristiwa sejarah. Pembahasan kali ini, tidak yang dipersempit pada nasib Indonesia yang dijajah oleh kolonial Barat. Lebih luasnya, peristiwa sejarah sepanjang masa yang pernah terjadi di Indonesia. Lebih spesifisiknya, tulisan ini hendak menganalisis perihal ‘rezim pangan’ yang pernah terjadi di Indonesia.

Rezim Pangan dan Kendali Kolonial

Kembali ke pembahasan ‘pengantar’, bahwa metode ideologi kolonial perspektif Michael Foucault yang salah satunya tidak hanya digencarkan melalui kesadaran tetapi juga praksis material. Oleh karenanya, di negara Indonesia, yang paling disorot dan menjadi perhatian publik besar adalah kebijakan rezim pangan. Istilah ini disebut dengan food estate.

Philip McMichael dalam bukunya Rezim Pangan dan Masalah Agraria (2020:7) yang sudah diindonesiakan oleh Penerbit InsistPress, mengutarakan karakteristik rezim pangan yang salah satunya adalah pertanian monokultur. Sebagai contoh, pada periode pertama rezim pangan (1870 hingga 1930-an), Inggris memaksakan bangsa koloni untuk mengembangkan satu macam pertanian yang kemudian diimpor untuk komoditi gudang besar di Inggris.

Rezim pangan yang menekankan pada pertanian monokultur, oleh Friedmann (2005:228) menyebutnya sebagai hasil pertarungan politik guna memenangkan cara baru untuk bergerak maju. Rezim pangan, terlepas dari historis rezim pangan, adalah periode yang berisi serangkaian hubungan yang nisbi stabil.

Rezim pangan periode pertama tidak jauh berbeda dengan rezim pangan korporat (1980 hingga 2000-an). Formasinya tidak jauh berbeda, dalam arti rezim pangan korporat memusatkan rantai-rantai pasokan yang beragam ke dalam suatu ‘revolusi supermarket.’ Tatanan ini yang kemudian menginisiasi lahirnya food estate yang terjadi pada kekuasaan Soeharto, rezim Orba.

Namun kenyataannya, kebijakan food estate ini sendiri jauh dari harapan dan cita yang digariskan. Bahkan, dampak yang ditimbulkan jauh lebih besar dibanding kebijakan itu sendiri. Salah satu yang paling disorot adalah gagalnya food estate pada zaman Soeharto di Kalimantan Tengah yang berubah menjadi kawasan gambut dan terbakar pada tahun 2015.

Alibi pelaksanaan program food estate yang dilakukan untuk menyiapkan daerah sebagai ‘lumbung pangan’ tidaklah sesuai dengan realitas yang terjadi. Damanik, dkk (2014) telah melakukan penelusuran mengenai program food estate yang ternyata semata digunakan untuk memfasilitasi peningkatan produksi biofuels. Pengembangan food estate di Indonesia lebih mengarah pada upaya pemenuhan permintaan biofuels dunia (Anggalih Bayu dkk, 2019).

Dengan format sama yang ada pada rezim pangan periode pertama, food estate hendak menggenjot pertumbuhan ekonomi dan mengurangi ketergantungan impor terhadap luar negeri. Selain itu, pendekatan food estate tidak hanya melalui pertanian monokultur, tetapi juga modernisasi yang secara praktiknya mengandalkan tenaga mesin teknologi. Yang kedua adalah representasi rezim pangan periode kedua, Amerika Serikat.

Ada benang-benang relasi kuasa dan kepentingan dalam kebijakan food estate yang sudah terlanjur berjalan di Indonesia. Dalam pembahasan ini, food estate yang konsepnya sama dengan rezim pangan korporat akan menerapkan prinsip-prinsip pasar neoliberal dalam rangka menjalankan privatisasi sesuai mandat dan penyesuaian struktural yang hegemonik (Philip McMichael, 2020:23).

Penelitian lebih lanjut menjelaskan secara kualitatif deskriptif yang berusaha menjelaskan marginalisasi masyarakat lokal (dan petani transmigran) akibat perpaduan program food estate dan revolusi hijau yang basisnya menggunakan tenaga teknologi. Pengkajian khususnya dalam rentang waktu pasca pelaksanaan PP No. 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman yang mendorong secara masif pelaksanaan program food estate di beberapa tempat.

Serangkaian konsep kebijakan food estate dengan penggunaan teknologi dalam usaha menggenjot produksi pangan justru menjadi boomerang yang rentan akan kerawanan pangan yang harus diderita oleh petani dan masyarakat lokal. Terlebih, dalam masa Soeharto (Anggalih Bayu, 2019: 176) food estate memposisikan transmigan sebagai pekerja. Demonstrasi yang sama dengan periode pertama rezim pangan.

Dengan demikian, ada titik temu yang mengindikasikan kontinuitas yang ambivalen dalam kebijakan food estate yang terjadi di Indonesia dengan periodesasi rezim pangan dalam cakupan historistik dan karakteristik. Tentu tidak bisa diasosiasikan secara menyeluruh, dalam beberapa aspek ada konjungsi yang serupa dan sama.

Pertama, persamaan titik berangkat yang lahir sebagai bentuk ketahanan dan kemandirian pangan. Kedua, pertanian monolkultur yang disokong dengan revolusi hijau untuk mempercepat pembangunan nasional. Ketiga, ada relasi kuasa dan kepentingan dalam kebijakan food estate. Industrialisasi dalam hal ini ada selubung politisi. Dan keempat, pola praktik periodesasi rezim pangan dengan kebijakan food estate.

Pemaparan singkat di atas, adalah pengantar pembahasan poskolonial dalam cakupan ekonomi-politik, agraria. Tulisan ini hendak mengorek keberlanjutan ideologi kolonial yang tidak hanya beroperasi pada kesadaran, tetapi juga praksis material. Tentunya, dengan sifatnya yang self generating, poskolonial hendak menelanjangi praktik kebijakan sarat kekuasaan dalam food estate beserta dampak-dampaknya.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya