Muktamar KAMMI 2019: Terbukanya Kotak Pandora (Bagian 1)

The Columnist berkomitmen dalam turut mendukung perkembangan gerakan mahasiswa di Indonesia. Oleh sebab itu, menjelang Muktamar KAMMI ke-XI pada 11-15 Desember mendatang di Jawa Timur, The Columnist akan membuka ruang bagi aktivis yang ingin berbagi gagasannya. Dan kali ini, kami merasa beruntung diberi kepercayaan untuk menerbitkan gagasan Adhe Nuansa Wibisono, Ketua Majelis Pertimbangan KAMMI Turki. (Editor)
Tidak sampai sebulan lagi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) akan melaksanakan Muktamar-nya yang ke-XI di Jawa Timur pada 11 Desember 2019. Tidak terasa gerakan mahasiswa ini telah berumur 21 tahun semenjak kelahirannya pada masa Reformasi 1998. Sebagai orang yang terlibat langsung di dalam perjuangan KAMMI selama kurun waktu 13 tahun terakhir, saya menyaksikan sendirinya berbagai perkembangan dan perubahan KAMMI.
Diawali dari perubahan narasi gerakan yang mulanya adalah “Muslim Negarawan” yang begitu populer di periode tahun 2000-an. Kemudian berubah menjadi lebih meng-indonesia di tiga kepengurusan terakhir. Narasi pertama yang muncul adalah “Untuk Indonesia” pada tahun 2013. Lalu “Jayakan Indonesia 2045” di tahun 2015. Dan terakhir “Sepenuhnya Indonesia” di tahun 2017. Perubahan ini menunjukkan lompatan pikiran KAMMI. Yang awalnya masih lekat kepada narasi aktivisme atau pemimpin keagamaan, bertransformasi menjadi narasi kebangsaan dan keindonesiaan.
Apakah muktamar KAMMI kali ini akan memberikan perubahan mendasar bagi KAMMI ke depannya? Sejauh ini belum terlihat adanya gagasan serius yang dibawa oleh para calon ketua umum. Saya sendiri melihat masalah terbesar dalam tubuh KAMMI adalah masalah patron-klien tunggal yang selama 21 tahun ini selalu membebani KAMMI.
Adanya kesamaan basis massa dan kultural antara KAMMI dan PKS yang berasal dari Jemaah Tarbiyah menjadikan keduanya begitu terikat dalam banyak hal. Dengan banyaknya alumni KAMMI yang menjadi pimpinan dan fungsionaris di PKS, membuat gejala patron-klien itu menguat bahkan seolah menjadi kekuatan tunggal.
Perlawanan Ideologis: dari Daulat hingga Kultural
Para aktivis KAMMI tentu saja tidak tinggal diam melihat gejala patronase tunggal itu. Dan akhirnya munculnya fase gelombang perlawanan ideologis dalam tubuh KAMMI. Perlawanan pertama ditandai oleh munculnya gerakan Daulat KAMMI yang diinisiasi oleh beberapa kawan aktivis KAMMI pada tahun 2009.
Perlawanan ini muncul setelah melihat adanya intervensi eksplisit oleh partai politik di balik peristiwa Musyawah Luar Biasa (MLB) yang melengserkan Ketua Umum KAMMI saat itu, Rahmantoha Budiharto. Dugaan kuat MLB disebabkan oleh cukup intensnya manuver Rahmantoha selama masa pemilu 2009 di mana dia datang dalam agenda deklarasi kepemudaan mendukung Mega-Prabowo. Padahal kecendrungan politik PKS kala itu adalah memberi dukungan kepada kandidat SBY-Boediono.
Tentu saja perlawanan Daulat KAMMI ini adalah bentuk reaktif atas intervensi kekuatan politik praktis terhadap independensi gerakan mahasiswa. Menurut pernyataan inisiator Daulat KAMMI, Akbar Tri Kurniawan, awalnya Daulat KAMMI ini akan disetting untuk membuat semacam Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) ala HMI di tahun 1986.
Tapi ternyata ide itu pun layu sebelum berkembang. Umur gerakan Daulat KAMMI tidak bertahan lama dan akhirnya surut karena kegagalan metode vis a vis yang mereka pilih. Daulat KAMMI dapat dikatakan belum mampu menggusur kekuatan patronase tunggal yang mendominasi.
Perlawanan ideologis berikutnya adalah dengan kemunculan Gerakan KAMMI Kultural pada tahun 2012-2013. Keresahan KAMMI Kultural diawali dengan pertanyaan mengenai identitas KAMMI. Dari mana KAMMI berasal? Apakah memang KAMMI adalah sebuah gerakan yang bersifat murni “transnasional” karena terpengaruh oleh pemikiran Ikhwanul Muslimin di Mesir? Dari manakah akar keindonesiaan KAMMI?
Berbagai pertanyaan inilah yang kemudian melandasi pertemuan kultural untuk mencari jawaban mendasar. Melalui Sarasehan Yogyakarta dan Sarasehan Jakarta, satu-persatu masalah filosofis mendasar dalam KAMMI tersebut mulai terjawab.
Dalam sarasehan itu, secara jujur para aktivis kultural mengakui bahwa KAMMI memang tumbuh dalam satu basis habitat sosial yang sama bernama Jemaah Tarbiyah yang memang mengambil pemikiran Ikhwan sebagai landasan ideologisnya. Tetapi KAMMI kemudian tidak hanya mengambil inspirasi pemikiran dari Ikhwan, tetapi juga KAMMI mengambil pemikiran-pemikiran dari gerakan keummatan lainnya di Indonesia, seperti Masyumi, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.
Fase KAMMI Kultural ini menandakan adanya “pergolakan” intelektual dalam KAMMI. Adanya upaya oleh para aktivis KAMMI untuk menerjemahkan KAMMI secara mandiri dan menolak interpretasi yang diberikan oleh faktor-faktor eksternal yang mencoba untuk menghemoni kesadaran independensi KAMMI itu sendiri. (Bersambung)
Artikel Lainnya
-
110724/04/2022
-
196910/04/2020
-
92310/11/2023
-
298006/10/2019
-
16522/08/2024
-
Penyakit Akut Partai Politik Indonesia: Oligarki
89910/09/2022