Pergeseran Usia Perkawinan di Indonesia

Dahulu, jika ada seorang anak perempuan yang belum menikah di usia sekitar 25 tahun atau maksimal 30 tahun, perempuan tersebut disebut sebagai “perawan tua”. Pun demikian dengan anak laki-laki yang belum menikah di usia tersebut, sering kali dilabeli dengan sebutan “perjaka tua”, “bujang lapuk” dan sebagainya.
Lebih dari itu, keluarga yang memiliki anak perempuan dan juga anak laki-laki yang belum menikah di usia sekitar 25 tahun atau maksimal 30 tahun juga merasa malu. Hal ini diakibatkan oleh norma sosial yang ada di masyarakat saat itu bahwa anak perempuan dan laki-laki rata-rata sudah harus menikah maksimal di usia tersebut.
Namun tren menikah di usia muda terutama di daerah perkotaan sedikit demi sedikit mengalami pergeseran, meskipun masih ada perguncingan di sebagian masyarakat jika ada keluarga yang memiliki anak gadis atau perjaka tetapi belum menikah di usia di atas 25 tahun atau maksimal 30 tahun tersebut.
Pergeseran pola pernikahan tersebut, dari sisi si anak perempuan lebih disebabkan oleh semakin tinggi tingkat pendidikan perempuan di Indonesia. Pendidikan yang semakin tinggi yang mampu digapai perempuan, membuat mereka menunda perkawinan terlebih dahulu karena ingin masuk ke dunia kerja untuk mengembalikan investasi yang dikeluarkan untuk meningkatkan derajat pendidikan tersebut.
Sementara itu, dari sisi anak laki-laki bergesernya norma perkawinan yang ditandai dengan semakin meningkatnya usia perkawinan lebih dikarenakan bahwa laki-laki menunggu untuk memiliki kehidupan yang mapan terlebih dahulu. Ini lebih dikarenakan di Indonesia laki-laki dianggap sebagai tulang punggung keluarga, sehingga mereka ketika menikah harus memiliki penghasilan dan pekerjaan yang mapan. Jika ini belum mereka dapatkan maka mereka akan cenderung menunda usia perkawinan.
Menunda perkawinan bagi seorang laki-laki juga dimungkinkan oleh faktor harus memberi mahar untuk perkawinan. Meskipun pemberian mahar besar kecilnya berbeda-beda antara satu budaya dengan budaya yang lainnya di wilayah Indonesia.
Tidak ingin buru-buru menikah bagi perempuan dan laki-laki di Indonesia juga bisa disebabkan oleh faktor bahwa mereka tidak ingin cepat-cepat memiliki anak. Budaya yang berkembang di masyarakat Indonesia mengindikasikan bahwa ketika seorang laki-laki dan perempuan sudah menikah maka mereka akan selalu ditanyai mengenai momongan, karena menikah berasosiasi dengan mendapatkan momongan secepat mungkin. Untuk itu, bagi perempuan dan laki-laki yang tidak ingin segera memiliki momongan maka biasanya mereka akan menunda perkawinan.
Selain beberapa faktor tersebut di atas, pergeseran pola perkawinan di Indonesia dengan salah satu indikator makin meningkatnya usia perkawinan di Indonesia, hal ini juga bisa disebabkan bahwa remaja perempuan dan remaja laki-laki di Indonesia sudah terpapar atau memiliki kesadaran pentingnya menikah di usia yang mapan baik secara kesehatan reproduksi, mental, maupun juga ekonomi.
Ketika pernikahan terjadi pada usia yang belum matang, misalnya seperti perempuan yang masih berusia di bawah 19 tahun tentunya hal ini akan sangat beresiko pada kesehatan reproduksinya, di tambah lagi jika seorang perempuan tersebut masih di bangku sekolah dan terpaksa harus menikah di usia yang belum matang tersebut, maka bisa jadi si anak perempuan itu akan dikeluarkan dari sekolahnya. Tentunya ini akan berdampak pada kehidupan masa depannya.
Menunda perkawinan sampai usia yang dianggap matang karena berbagai macam pertimbangan dan alasan yang melatarbelakinga memang sah-sah saja, artinya menikah di usia berapapun adalah merupakan hak asasi yang harus sama-sama kita hormati, namun demikian patut kita renungkan bahwa ada batas usia yang secara kesehatan dianggap usia yang ideal terutama bagi seorang perempuan untuk menikah dan memiliki anak yaitu berkisar antara 20 tahun sampai dengan 35 tahun. Perempuan yang menikah di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun akan beresiko lebih tinggi dari sisi kesehatan reproduksinya. Memiliki anak di bawah usia 20 tahun dan di atas usia 35 tahun sangat beresiko dan rentan bagi keselamatan ibu dan anak yang dikandungnya.
Untuk itu, perlu diperhatikan bahwa meskipun menunda pernikahan merupakan hak asasi semua orang, namun menikah di usia yang ideal perlu dipertimbangkan terutama pada pada perempuan agar terhindar dari potensi gangguan kesehatan reproduksi yang dapat membahayakan dirinya sendiri maupun juga calon anak yang di kandungnya. Mari sama-sama menjaga kesehatan reproduksi kita dan kita hormati pilihan masing-masing dari kita.
Artikel Lainnya
-
221604/12/2019
-
178412/05/2020
-
148626/03/2021
-
Bukti Vaksinasi dan Kemerdekaan yang Hakiki
69517/08/2021 -
Banalitas Relasi Aku dan Aku yang Lain
107331/01/2021 -
Omong Kosong Covid-19 dalam Roman Petani
229424/03/2020