Problematika Kehidupan Anak

Salah satu penyanyi papan atas Indonesia yang juga merangkap sebagai angggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia sedang menjadi topik perbincangan di berbagai media sosial.
Konflik internal keluarga yang terjadi antara ibu dan anak yang disampaikan melalui media sosial mengundang reaksi berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari netizen, youtuber, pakar psikolog anak, bahkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI berkomentar dalam kasus ini.
Konflik yang terjadi disebabkan karena selisih paham di antara mereka. Kondisi mereka yang tinggal berjauhan akibat perceraian bisa jadi menjadi pangkal permasalahannya. Tidak hanya itu, berbagai akibat dari tinggal terpisah antara anak dan orang tua akan menjadi resiko yang harus ditanggung oleh sang anak.
Tidak hanya masalah perceraian, masih banyak masalah lainnya yang harus dihadapi anak Indonesia saat ini. Mulai dari masalah hak sipil anak sampai ke masalah kesehatan anak. Semuanya butuh perhatian dan solusi yang tepat untuk mengatasinya.
Kondisi anak Indonesia saat ini
Proyeksi BPS terhadap jumlah penduduk 0-17 tahun mencapai 79,55 juta jiwa (30,11 persen) di tahun 2018. Jumlah ini menunjukkan tren menurun dan diperkirakan pada tahun 2025 mencapai 78,97 juta jiwa (27,96 persen). Hal ini diasumsikan sebagai akibat dari penurunan jumlah kelahiran total (TFR) pada masa mendatang.
Ada hal menarik, persentase penduduk 0-17 tahun tertinggi adalah Provinsi Riau mencapai 35,5 persen dari total penduduk Riau. Perlu penelitian lebih lanjut untuk dapat menjelaskan mengapa terjadi demikian.
Jika dilihat rasio jenis kelamin penduduk Indonesia 0-17 tahun tahun 2018 adalah sebesar 103,26; ini menandakan bahwa anak laki-laki lebih banyak dari anak perempuan. Dan jika dilihat berdasarkan komposisinya, usia terbanyak adalah pada usia 7-12 tahun (33,4 persen) dan usia di bawah 5 tahun (21,9 persen). Hal ini menjadi perhatian bagi pemerintah baik di sektor Pendidikan maupun Kesehatan untuk kedua kelompok umur tersebut.
Masalah kehidupan anak
Tidak hanya orang dewasa saja yang mengalami permasalahan dalam hidupnya, tetapi anak-anak pun bisa mengalami banyak permasalahan. Menurut Psikolog keluarga dari Lembaga Bantuan Psikologi dan Pengembangan Diri, Nana Maznah Prasetyo, menjelaskan keadaan anak saat ini, setelah anak lahir, tumbuh serta berkembang di lingkungan keluarga, akan disertai masalah demi masalah. Bahkan lebih dari 90 persen permasalahan pada anak disebabkan oleh kesalahan atau ketidaktahuan orang tua (republika.co.id). Mari kita telisik satu persatu permasalahan yang terjadi pada anak di Indonesia.
Hak Sipil Anak, melalui UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang perlindungan anak menekankan bahwa akta kelahiran merupakan hak anak dan tanggung jawab pemerintah sepenuhnya. Pengabaian atas hak sipil anak tidak hanya berdampak pada status warga negara serta perlindungan terhadap anak tetapi juga berdampak pada hak dan kewajiban anak di masa yang akan datang.
Dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2018 menunjukkan bahwa sekitar 16,13 persen anak usia 0-17 tahun tidak mempunyai akta kelahiran. Bahkan masih terdapat 0,32 persen orang tua yang tidak tahu apa itu akta kelahiran. Angka ini masih cukup besar mengingat pemerintah semakin memberikan kemudahan di dalam pengurusan akte kelahiran.
Saat ini pemerintah telah memberikan kemudahan dalam pengurusan akta kelahiran yaitu cukup dengan melampirkan surat pernyataan tanggung jawab mutlak (SPTJM/Supertajam). Ini merupakan inovasi yang dibuat Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri untuk mengatasi permasalahan kepemilikan sekaligus meningkatkan kepemilikan akta kelahiran (mediaindonesia.com)
Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif, Keluarga yang lengkap merupakan impian seluruh keluarga Indonesia. Tetapi seringkali perceraian atau perpisahan tidak dapat dihindari di dalam berjalannya waktu. Perceraian tidak hanya terjadi pada artis papan atas Indonesia saja, tetapi juga bisa terjadi pada seluruh lapisan masyarakat, seperti buruh pabrik, pegawai swasta, guru, pejabat, bahkan seorang kyai atau ulama pun bisa mengalami perceraian.
Banyak hal yang dapat menyebabkan terjadinya perceraian diantaranya; faktor ekonomi, mabuk, judi, obat-obatan terlarang, kekerasan dalam rumah tangga, poligami, cacat fisik, pertengkaran terus menerus, meninggalkan salah satu pihak, dan masih banyak sebab lainnya. Bahkan karena pekerjaan pun bisa menyebabkan terjadinya perceraian/perpisahan.
Hidup terpisah akibat perceraian tidak hanya mengakibatkan selisih paham tetapi juga bisa menyebabkan insecurity, perasaan sedih, rasa kesepian, marah, merasa kehilangan, merasa tidak diinginkan, bahkan rasa menyalahkan diri sendiri pada anak.
Di Indonesia terjadi penurunan jumlah anak usia 0-17 tahun dan belum kawin yang tinggal bersama bapak dan ibu kandung. Dari 87,15 persen di tahun 2009 menjadi 84,33 persen di tahun 2018. Hal ini sejalan dengan semakin meningkatnya perceraian yang terjadi di indonesia. Sejak 2009 sampai 2018, perceraian naik sebesar 82,75 persen. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mencari penyebab tingginya perceraian di Indonesia.
Pernikahan dan Melahirkan Dini, pernikahan anak di bawah usia 18 tahun akan memberikan dampak negatif. Dalam bidang pendidikan, anak yang telah menikah akan kehilangan kesempatan untuk bersekolah, baik disebabkkan karena dari diri anak sendiri atau dari pihak sekolah. Dan Kedepannya akan berpengaruh pada kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Pada tahun 2018, untuk anak yang berstatus kawin dengan pendidikan tertinggi yang ditamatkannya hanya sampai SMP mencapai 51,88 persen. Artinya separuh dari anak perempuan usia 10-17 tahun sudah mengalami perkawinan dan hanya mengenyam pendidikan sampai SMP.
Usia yang masih terlampau muda untuk menikah dapat meningkatkan resiko kesehatan baik pada ibu maupun anak yang dikandungnya. Resiko kematian pada ibu dan bayi sangat tinggi karena disebabkan terjadinya anemia, kekurangan gizi, dan rendahnya daya tahan tubuh pada ibu muda. Selain itu juga dapat meningkatkan risiko komplikasi medis seperti pendarahan saat persalinan dan meningkatkan risiko bayi lahir mati atau lahir sekarat (skata.info).
Perilaku merokok, merokok biasanya dilakukan oleh orang dewasa tetapi saat ini anak-anak pun sudah banyak yang merokok. Berawal dari rasa ingin tahu atau coba-coba yang kemudian berubah menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan. Beberapa faktor lainnya yang menyebabkan anak-anak merokok diantaranya: contoh dari orang terdekat (ayah, paman, kakek, dan sebagainya), pengaruh pergaulan, pelarian dari masalah serta persoalan yang lainnya.
Meskipun proporsi merokok yang dilakukan setiap hari pada anak usia 10-14 tahun tidak terlalu besar (0,7 persen), tetapi hal ini tidak boleh dibiarkan karena bahaya yang ditimbulkan dari merokok dapat menyebabkan penyakit berbahaya bahkan kematian. Dan juga, merokok yang sudah menjadi kebiasaan akan sangat sulit untuk dihentikan.
Upaya mengatasi masalah
Seperti yang disampaikan dalam pidato Bung Karno "Beri aku 10 pemuda, maka akan kuguncang dunia”. Begitulah dahsyatnya kemampuan generasi muda dalam pembangunan. Oleh karena itu, permasalahan dalam kehidupan anak harus ditangani dengan serius, mengingat anak adalah generasi penerus bangsa dan dipundaknya beban pembangunan akan diletakkan. Untuk itu ada beberapa upaya untuk mengatasi masalah kehidupan anak. Agama, menjadi modal atau landasan utama untuk mengatasi bahkan mencegah terjadinya permasalahan dan hidup anak. Dengan bekal agama yang kuat, anak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk di dalam kehidupannya. Selain itu kehidupan spiritual akan membuat anak-anak selalu ingat kepada sang penciptanya.
Kasih sayang orang tua, perhatian dan kasih sayang yang tulus dari orang tua dapat meningkatkan rasa nyaman dan membuat anak menjadi terbuka. Orang tua dapat menjadi tempat berkeluh kesah sehingga komunikasi akan tercipta dengan baik. Perceraian atau perpisahan bukan menjadi alasan untuk mengurangi perhatian dan kasih sayang terhadap anak tetapi justru harus ditingkatkan sehingga komunikasi pun tidak terputus walau jarak memisahkan.
Lingkungan yang baik, anak-anak yang tumbuh dan berkembang di tengah lingkungan yang baik, kemungkinan besar akan mempengaruhi karakter anak dan dapat menghasilkan generasi muda yang baik. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan tempat tinggal, lingkungan tempat bermain, dan lingkungan sekolah.
Pemerintah, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Berbagai permasalahan menyangkut anak menjadi tanggung jawab kementerian ini.
Kerjasama dan koordinasi semua pihak diharapkan dapat mengatasi permasalahan kehidupan anak di Indonesia. Butuh keseriusan dan langkah konkrit untuk mencetak generasi penerus bangsa. Bangsa yang kuat memiliki generasi muda yang hebat.
Artikel Lainnya
-
151015/11/2020
-
129210/08/2020
-
158126/04/2020
-
Demonstrasi dan Ikhtiar Sumpah Pemuda
153930/10/2020 -
Membaca Konsep ‘New Normal’ Dalam Situasi Abnormal
200023/05/2020 -
Energi Listrik yang Menghidupkan Roda Usaha
147007/09/2020