RUU HIP: Gunung Es Krisis Kebangsaan

freelance
RUU HIP: Gunung Es Krisis Kebangsaan 28/06/2020 1301 view Opini Mingguan ILUSTRASI potret aksi masa tolak RUU HIP di Titik Nol Yogyakarta.* (asa)

Di tengah situasi dukacita akibat covid-19, kita dikejutkan dengan Rancangan Undang-Undang Halauan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang dibahas oleh DPR RI. RUU HIP dinilai kontroversial oleh berbagai elemen masyarakat. Mereka menilai RUU ini berpotensi melemahkan kedudukan pancasila sebagai dasar negara.

Beberapa alasan yang disampaikan, pertama, secara logika hukum, keberadaan RUU HIP dianggap aneh karena berpotensi merusak pencasila, kedua, di tengah situasi pandemi ini, RUU ini bagai bara panas yang menyulut kemarahan publik, ketiga, RUU HIP bermasalah secara substansi dan urgensi, keempat, berpotensi mengganggu kedudukan pancasila sebagai dasar negara dan kelima, bisa mengacaukan sistem ketatanegaraan dan sistem pemerintahan (Kompas, 24/6/2020).

Banyak pihak menginginkan, RUU HIP seharusnya didorong pembahasannya dengan membuka ruang dialog dan mendengarkan masukan publik. Hal ini untuk mencegah pembahasan regulasi yang kontraproduktif dan berujung berdebatan kusir ideologis. Selain itu, pembahasan RUU ini tidak mendesak dan bukan solusi yang tepat atas persoalan ideologi saat ini.

Munculnya RUU HIP menguras energi bangsa dan bisa memecah belah masyarakat, lebih-lebih di tengah wabah covid-19. Menurut Yudi Latif, Kekisruhan di sekitar RUU HIP harus dilihat sebagai puncak gunung es dari kedalaman krisis kebangsaan. Krisis ini terjadi karena kehidupan bernegara berjalan sebatas mengikuti rutinitas prosedur dan administrasi, tanpa kejelasan arah dan tujuan (Kompas 18/6 2020).

Senada dengan Yudi Latif, Penulis melihat RUU HIP ini terkait erat dengan wajah perpolitikan kita yang sangat kotor. Politik, yang dalam dirinya memiliki tujuan mensejahterahkan rakyat, mendapat cap negatif ketika DPR kurang menunjukan diri sebagai wakil rakyat yang salah satu tugasnya menyampaikan aspirasi rakyat.

Namun yang terjadi mereka cenderung melihat rakyat bukan prioritas utama pengabdian. Yang menjadi prioritas ialah kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Sungguh miris, namun itulah wakil rakyat kita. Sebagai generasi muda, saya prihatin. Sebab mereka tidak mampu memberikan teladan baik bagi masyarakat. Kenyataan ini mengetuk kesadaran saya pada sebuah pertanyaan eksistensial dan fundamental, bagaimana dengan moralitas politik bangsa Indonesia ke depannya?

Membongkar Kebiasan Lama

Dalam iklan white coffee diserukan 'bongkar kebiasaan lama'. Kalau kebiasaan lama terus berada pada ketidakjujuran dan ketidakterbukaan, maka kebiasaan lama itu harus dibongkar dan diperbarui. Karena perbuatan jujur tidak sama dengan seolah-olah jujur. Tindakan memisahkan keduanya merupakan perkerjaan yang sulit nan sukar. Itu harus membutuhkan pengorbanan. Kebiasaan lama memandang menghormati orang karena status yang terus dipegang harus dimusuhi dan diperangi.

Peran sebagai wakil rakyat harus sampai pada perjuangan hak-hak rakyat dan membongkar kebiasaan-kebiasaan pribadi yang buruk. Apabila peran sebagai wakil dirayakan dalam kedangkalan, kebohongan dan pertengkaran, banyak RUU yang dibuat dengan penalaran yang kusut. Makin banyak peraturan, makin banyak penyahgunaan. Kalau sudah terjadi demikian, sebenarnya elit negara sedang berlomba mengkhianati negara dan sesamanya, yang membuat rasa saling percaya menjadi pudar.

Politik Indonesia saat ini 'buncit' karena nilai kemanusiaan itu dianaktirikan oleh sebuah moralitas tuan dan budak. Pemimpin ibarat tuan yang memerintah. Inilah sebuah kegelisahan moralitas. Maka patutlah kita mendulang sentilan Emanuel Levinas, Respondeo Ergo Sum, saya bertanggung jawab, maka saya ada. Keberadaan sebagai manusia harus dipertanggungjawabkan dengan menghentikan sebuah pola kepemimpinan tuan-hamba. Kepemimpinan seperti itu akan melahirkan sebuah pola subjek-objek.

Peka Akan NKRI

Rancangan Undang-Undang HIP yang dibuat oleh DPR perlu ditelaah lebih kritis lagi. Membuat rancangan undang-undang tanpa kematangan berpikir akan menimbulkan risiko yang lebih berat bagi bangsa dan negara ini. Ungkapan ini harus dimiliki oleh DPR, "kalau mau melihat dunia ini sebagai firdaus, ingatlah bahwa firdaus itu pertama-tama adalah kamu."

DPR juga mesti membangun hidup berbasis nurani. Blaise Pascal mengatakan bahwa di dalam diri manusia ada hati. Hati adalah sebuah medan di mana ada keinginan menggapai kebenaran. Kebenaran itu akan berbelok ke kejahatan, kalau orang tidak mendengarkan apa kata hatinya. Di dalam hati terdiam suara sang Ilahi. Kalau orang Yunani berkata, di mana hatimu berada, di situ engkau ada. Hati adalah hidup itu sendiri. Apakah suara hati mengamini tindakan DPR yang koruptif, malas? Maka, keutamaan hati adalah penting. Keutamaan (arete) menjadi sebuah jalan menuju kebaikan dan kebahagiaan. DPR harus menjadi agen kebaikan bangsa.

Akhirnya, tiada kemenangan tanpa kekuatan. Tiada kekuatan tanpa persatuan dan tiada persatuan tanpa keutamaan. Arete (keutamaan) sebagai sebuah jalan tengah meraih kebahagiaan. Bangsa ini akan mengalami kemajuan kalau DPR yang memiliki "hati" tinggal di tanah air Indonesia. DPR yang mampu membelokkan arah politik dan kemanusiaan bangsa dari posisi kronis ke kosmos (keteraturan).

DPR harus sungguh-sungguh menyuarakan kepentingan rakyat. Karena itu menjadi wakil rakyat, seyogyanya adalah sebuah tanggung jawab besar untuk membangun bangsa yang beradab dan bermoral. Kalau pun DPR ingin memberi perubahan, paling tidak jangan menambah masalah baru pada tubuh bangsa ini. Bangsa kita membutuhkan orang-orang yang peka terhadap NKRI.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya