Sexy Killers: Sebuah Catatan Refleksi

Admin The Columnist
Sexy Killers: Sebuah Catatan Refleksi 08/08/2019 1885 view Lainnya

Di bawah temaram lampu rektorat, kami penggiat Indonesian Syndicate mempergunjingkan politik energi nasional. Sudah barang tentu diskusi kecil itu dipicu oleh film Sexy Killers. Film yang diproduksi oleh Watchdoc, disutradarai dan diproduseri oleh jurnalis dan aktivis yang sudah putus urat takutnya: Dandhy Dwi Laksono dan Roy Murtadho.

Mengapa bisa itu film begitu mengguncang? Dalam dua minggu sudah meraih 20 juta viewers lebih, banyak organisasi dan komunitas menggelar diskusi yang beberapa diantaranya menjadi korban pembubaran paksa aparat, twitwar antar publik figur meletus, hingga menguatnya gerakan golput menjelang Pemilu 2019.

Guncangan Sexy Killers tak hanya berhenti sampai di situ. Setelah pemilu usai pun perdebatan masih terus berlanjut. Menjadi masuk akal komentar seorang tokoh aktivis di acara "Menggugat Sexy Killers" beberapa waktu lalu. Ketika siapapun pemenang Pemilu adalah sama saja, maka sasaran sang sutradara sebetulnya politik pasca pemilu. Karena tak ada gunanya lagi bicara politik energi pada dua paslon yang ada. Film ini betul-betul mempunyai banyak sisi misterius.

Menurut kami, Indonesian Syndicate, guncangan Sexy Killers dikarenakan dua hal. Pertama, timing. Ia dirilis menjelang pemilu yang panas. Kedua kubu yang bertarung punya garis pemisah yang tegas, para pendukung telah terlibat banyak kekerasan.

Lantas Sexy Killers datang dan berkata, "Hey yang di sana! Kedua kubu sama saja. Kalian terjebak di dalam pemilu dan dipaksa untuk berpihak dan memilih".

Kedua, konten. Sexy Killers bercerita bagaimana orang-orang yang berkuasa di negeri ini ternyata terlibat di bisnis tambang batu bara. Citra bersih, merakyat, dan polos menjadi rusak karenanya.

Kita tengah terjebak di dalam oligarki politik. Kesimpulan yang menghentak kesadaran.

***

Kami, penggiat Indonesian Syndicate, punya banyak komentar. Ada yang berkesimpulan, Sexy Killers bercerita tentang kepedihan. Para elite menindas, namun rakyat tak punya kuasa untuk memenangkan perlawanan. Gugatan rakyat terhadap pembangunan selalu kalah melawan kuasa tambang dan pemerintah.

Mau pedih yang bagaimana lagi, selain tergencet namun tak bisa berbuat apa-apa.

Tak hanya di Samarinda Kalimantan, tetapi juga di Kendeng, Jawa Tengah, dan Kulon Progo, Yogyakarta. Narasinya sama, "demi pembangunan".

Yang lain memberi catatan dari sisi teknologi dan ekonomi. Menangnya batu bara di pasar energi karena perusahaan tidak memasukkan biaya pengolahan limbah dan dampak lingkungan ke dalam biaya produksi. Harga jual batu bara menjadi murah.

Andai kata biaya itu juga dihitung, batu bara akan menjadi mahal. Harga jualnya tak akan mampu bersaing dengan sumber energi lain, seperti minyak bumi.

"Lalu, bagaimana solusinya? Solar energy, seperti yang direkomendasikan Sexy Killers?"

Tidak demikian juga. Sexy Killers telah keliru dengan menjadikan panel surya sebagai solusi alternatif.

Betul, proses panel surya memproduksi listrik tak menghadilkan sampah. Tapi proses pembuatan alat panel surya menghasilkan sampah yang sangat berbahaya. Pemurnian silikon agar bisa mencapai derajat 99,99 persen menghasilkan asam yang menakutkan.”Coba lempar ke rumput, maka terbakarlah ia”, ucap mahasiswa PhD Jurusan Kimia penggiat Indonesian Syndicate. Inilah mengapa US sampai sekarang masih maju-mundur untuk memproduksi alat itu secara massal.

Solusi yang terpikirkan adalah mengubah sampah menjadi listrik dan circle economy. Di sebuah desa di Sumatera, seorang pengusaha membeli sampah sawit dari masyarakat. Sampah itu lalu diolah menjadi listrik, dan dijual kembali ke masyarakat. Harganya murah. Di bawah harga PLN.

Circle economy lain lagi. Sampah industri A diubah menjadi bahan baku industri B. Sampah industri B lalu diolah pula untuk menjadi bahan baku industri C. Demikian selanjutnya pada D, E, dan F yang mana sampah F diolah menjadi bahan baku industri A. Relasi yang melingkar, circle. Dan Zero waste, tanpa sampah. Begitu kira-kira prinsipnya.

Yang lain membaca Sexy Killers secara berbeda pula. Film itu membongkar persoalan energi dengan merunut prosesnya ke belakang. Mulai dari batu bara ditambang, dipindahkan, hingga mendarat di Pulau Jawa. Semua tahap berlumur luka dan butuh korban nyawa.

Dan kalau mau jujur, sebetulnya ini bukanlah soal alih fungsi energi. Bukan soal bagaimana menemukan sumber energi alternatif selain batu bara. Melainkan bisnis siapa yang terganggu jika tambang batu bara distop.

Logika itu kemudian mendaratkan kritikan terhadap populisme islam. Isu energi adalah persoalan ekonomi politik, maka dibutuhkan desakan politik. Sayangnya, gerakan politik Islam yang dua tahun terakhir menguat hanya sensitif terhadap isu-isu identitas, seperti penghinaan Islam. Isu keadilan dan penindasan sama sekali terabaikan.

Bisa dibayangkan bila mana satu juta umat muslim memenuhi Samarinda, Pulau Karimun dan Batang. Menuntut pihak-pihak yang terlibat bertanggung jawab penuh atas penindasan. Tentu ceritanya menjadi lain.

Karena ini soal ekonomi politik, pendekatan teknologi dan ekonomi sulit berhasil menyelesaikan isu tersebut. Saintis tak kekurangan ide alih fungsi energi. Tetapi pemegang kekuasaan, yang tak lain oligarki politik, tak akan pernah mau memilih ide yang tak menguntungkan bisnisnya.

Circle economy secara konseptual juga belum selesai lantaran membuat pasar tidak stabil. Misalnya, sampah industri A adalah 10 ton sedangkan kebutuhan bahan baku Industri B hanya 1 ton. Agar zero waste, harus ada 9 tambahan industri B agar semua sampah industri A bisa terserap.

Permasalahannya, penambahan jumlah industri B akan menghasilkan bertambahnya jumlah barang hasil produksi B di pasaran. Hukum penawaran dan permintaan akan membuat harga barang tersebut turun. Keuntungan Industri-industri B menipis utk kemudian gulung tikar.

Dapat juga dibayangkan, peningkatan jumlah industri B berarti peningkatan sampah sejenis. Artinya jumlah industri C juga harus meningkat. Demikian seterusnya sampai D, E, F untuk kemudian berputar ke industri A. Ada kemungkinan bangkrut massal. Perekonomian kolaps.

Namun itu bukan berarti ide dasar zero waste tak layak dikembangkan. Semua adalah mungkin. Toh dulu manusia tak pernah mengira matahari bisa muncul dan dikendalikan dimalam hari sampai penemuan bohlam terjadi. Pun mustahil untuk percaya besi bisa terbang di langit sampai penelitian pesawat terbang berkembang.

***

Terlepas dari komentar-komentar di atas, Sexy Killers adalah film yang sangat menarik. Ia berhasil membuka kesadaran dan perdebatan publik. Sekaligus membuat oligarki politik energi terdesak.

Maka beruntunglah orang-orang yang jujur terhadap hati nuraninya. Dan betapa malang mereka-mereka yang masih dibekap nafsu partisan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya