Teknologi, Alam dan Manusia Modern

Sebuah gambar di sebuah galeri foto menampilkan seekor rusa yang sedang menyeberangi sebuah jalan raya. Mobil-mobil tampak berhenti sehingga menimbulkan kemacetan yang cukup panjang. Seseorang yang diminta memberikan komentar terhadap gambar ini akan dengan mudah menilai bahwa sang rusalah yang menerobos jalan raya milik manusia itu dan yang lantas menimbulkan kemacetan tak terhindarkan itu. Akan tetapi, apabila kita mengamati gambar itu dengan lebih jeli, kita akan bertanya, ‘Benarkah demikian?; Rusa yang menyeberangi jalan raya [manusia] ataukah manusia yang membangun jalan raya dengan membelah hutan, rumah tempat tinggal rusa itu?’
Gambar itu menarik justru karena mengangkat sebuah isu yang tengah hangat diperbincangkan manusia dewasa ini, yakni soal kerusakan lingkungan hidup di satu sisi dan keserakahan manusia di sisi lain. Dengan mudah kita bisa menggiring permasalahan ini kepada masalah serupa, semisal masalah sampah yang masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi bangsa Indonesia. Pertanyaan pentingnya akan sama: ‘Apakah kita bisa memutus mata rantai persoalan kerusakan alam [sampah] di Indonesia? Jika ya, di mana kita menemukan akar permasalahan ini?’
Tulisan ini memang tidak secara langsung menyentuh persoalan sampah sebagaimana yang masih menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi bangsa Indonesia. Akan tetapi, paling tidak tulisan ini ingin menunjukkan bahwa permasalahan kerusakan lingkungan di Indonesia, sebagaimana persoalan sampah, adalah persoalan relasi manusia dengan teknologi modern yang berkembang sedemikian pesat abad ini. Tulisan ini dengan demikian hendak menilik relasi antara manusia modern dengan teknologi saat ini. Berangkat dari situ, tulisan ini hendak menemukan suatu relasi yang baik antara alam dengan manusia bersama teknologinya. Diharapkan bahwa mata rantai persoalan sampah di Indonesia bisa diputuskan.
Kebanyakan manusia di abad ke-21 telah dengan cepat berubah menjadi makhluk yang terlampau asyik dalam kenyamanan dunia yang artifisial. Dunia artifisial yang dimaksud adalah lingkungan buatan di mana segala sesuatu diciptakan dan dibuat sedemikian rupa demi meningkatkan kualitas hidup manusia dan demi menciptakan kondisi yang nyaman bagi kehidupan manusia. Tidak ada yang alami di sana (bdk. Jemadi, dalam Jurnal Driyarkara Th. XXXVIII No. I/2016: 51). Lingkungan artifisial ini dimungkinkan bertumbuh dan berkembang berkat kemajuan teknologi yang menandai seluruh aspek kehidupan abad ini.
Akan tetapi, kenyamanan yang terlampau asyik dalam dunia artifisial ini justru membuat manusia terkungkung di dalamnya. Kenyamanan yang disuguhkan dunia artifisial ini nyatanya menyimpan kisah mengenai kerusakan alam [bumi] yang masif. Alam dikorbankan demi terciptanya dunia buatan ini. Alam dianggap semata sebagai sumber daya-sumber daya bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Pertambangan, pembukaan lahan baru, penebangan hutan dan masih banyak lagi meninggalkan catatan buruk mengenai kerusakan alam.
Di sinilah letak paradoks kemajuan teknologi modern. Di satu sisi, ia membantu meningkatkan kualitas hidup manusia. Di sisi lain, karenanya, manusia menjadi makhluk yang terlampau rakus dalam memperlakukan dan mengeksploitasi alam [bumi].
Martin Heidegger (1889-1976), seorang filsuf tersohor abad ke-20, dalam karyanya Die Frage nach der Technik (‘Pertanyaan tentang Tekonologi’) menggunakan kata Ge-stell untuk menyatakan esensi dari teknologi modern. Esensi teknologi modern ini ditelisik Heidegger untuk kemudian memberi kritik terhadapnya. Bagi Heidegger, akar keserakahan manusia bisa ditelusuri dalam pemahaman mengenai esensi teknologi modern.
Bagi Heidegger, dalam pemahaman esensi teknologi modern sebagai Ge-stell, manusia bukanlah subjek dari esensi teknologi modern itu. Manusia tidak bertindak sebagai pengontrol, tetapi malah terjebak dalam struktur teknologi modern yang berciri “memeras, memanipulasi, mengeksploitasi, dan mengeruk sumber daya untuk keberlanjutan proses produksi itu sendiri.” Artinya, manusia yang seharusnya adalah pelaku teknologi (‘causa effisiens’) dalam struktur proses produksi teknologi modern justru terjebak dalam cara pandang bahwa alam hanyalah sumber daya-sumber daya yang siap untuk dieksploitasi untuk kepentingan produksi (Dei Rupa, ed., Setyadi, 2018: 246-247).
Berkembang dari kritik Heidegger sebelumnya yang melihat manusia bukan lagi sebagai subjek dalam teknologi modern, melainkan ‘diperalat’ oleh struktur proses produksi, akibat lebih jauh dari kungkungan Ge-stell ini bagi Heidegger adalah bahwa manusia memandang alam semata sebagai sumber daya-sumber daya yang siap dieksploitasi untuk tujuan manusia. Hal ini dimungkinkan karena manusia menganggap dirinya sebagai ‘penguasa’ yang bisa mengontrol alam (Dei Rupa, ed., Setyadi 2018: 247-248).
Dalam cara pandang yang demikian, segala hal dilihat dalam kerangka sebagai ‘harta karun’ untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Dunia artfisial sebagaimana dijelaskan di awal tulisan ini di mana tidak ada sesuatu pun yang alami, memperlihatkan bagaimana manusia justru merasa nyaman dengan dunia yang dibangun dengan mengorbankan alam itu. Dunia yang disebut sebagai dunia artifisial itu. Dunia yang dibangun dengan alam/bumi sebagai tumbalnya.
Kritik Heidegger mengenai esensi teknologi modern membawa kita pada kesimpulan bahwa manusia modern pada dasarnya mempunyai kecenderungan untuk menganggap dirinya bisa mengontrol alam dan lantas memakai ‘kekuasaan’ itu untuk mengeruk dan mengeksploitasi alam. Hal ini kini menjadi semakin beringas karena manusia mempunyai ‘senjata’ baru yakni teknologi. Dengan teknologi manusia menjarah alam semaunya.
Lantas, setelah melihat bagaimana manusia modern berelasi dengan teknologi, kita perlu menemukan relasi semacam apa yang perlu dibangun oleh manusia modern bersama teknologinya dengan alam/bumi di sekitarnya? Relasi semacam ini perlu dibangun agar bumi tempat kita tinggal akan tetap menjadi rumah yang nyaman dan terawat bagi kita dan anak-cucu kita.
Kita tentu tidak bisa memilih jalan yang dengan sendirinya mengabaikan nilai-nilai positif yang dibawa oleh teknologi modern dewasa ini, terutama andilnya dalam meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dengan kata lain, kita tidak boleh menjadi naif dengan mengatakan bahwa kita seharusnya bisa hidup tanpa kemajuan teknologi modern. Bagaimanapun, teknologi modern memiliki andil yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Hampir semua kebutuhan manusia dewasa ini terpenuhi berkat adanya kemajuan teknologi. Teknologi memudahkan manusia dalam hampir seluruh ranah kehidupan manusia seperti komunikasi, transportasi, sistem produksi, konsumsi, edukasi, sanitasi, dan lain sebagainya. Dengan demikian, relasi yang perlu diambil adalah relasi yang di satu sisi bersifat ramah terhadap alam dan di sisi lain tetap tidak mengabaikan andil besar perkembangan teknologi dalam kehidupan manusia.
Berangkat dari pertimbangan di atas, penulis menawarkan sebuah model relasi yang baik antara alam dengan manusia bersama teknologinya. Model relasi yang dimaksud adalah model relasi di mana kita beralih kepada teknologi yang ramah terhadap alam. Model relasi ini sejalan dengan gagasan Heidegger mengenai pemahaman yang tepat mengenai esensi dan penyingkapkan teknologi modern, yang menjelaskan bahwa kita harus mampu secara bebas memilih teknologi yang tidak berkarakter memeras, mengekspolitasi, mengeruk, dan memanipulasi alam (Dei Rupa dalam Setyadi 2018: 250).
Sejalan dengan gagasan di atas, tindakan manusia dalam memanfaatkan alam hendaknya tidak bersifat eksploitatif dan destruktif. Pemanfaatan alam dan sumber dayanya harus dilakukan dengan memperhatikan daya pulih lingkungan. Usaha pertambangan, misalnya, tidak bisa dilakukan di daerah dengan luas wilayah yang relatif kecil karena hal ini akan berdampak pada kerusakan ekosistem di sekitar daerah lingkar tambang. Jelasnya, pemanfaatan kita terhadap alam hendaknya dilakukan dengan tetap memperhatikan kelestarian alam itu sendiri.
Dapat ditambahkan pula di sini bahwa teknologi dan hasil teknologi yang kita pilih hendaknya tidak membawa kerusakan pada alam. Artinya, proses produksi dan hasil produksi teknologi hendaknya tidak membawa kerusakan kepada bumi tempat kita tinggal. Pabrik-pabrik, misalnya, hendaknya tidak membuang limbah yang mengandung bahan kimia berbahaya ke lingkungan, seperti bahan yang mengandung merkuri (hydrargyrum) yang sangat berbahaya bagi lingkungan dan makhluk hidup. Dalam persoalan sampah, misalnya, gerakan untuk berhenti menggunakan kantong plastik adalah salah satu contoh yang tepat di mana kita memanfaatkan teknologi yang ramah alam, meskipun secara tidak langsung. Dari pihak produsen, bisa diusahakan produksi kemasan produk dengan bahan yang bisa diurai oleh lingkungan.
Dengan memanfaatkan teknologi sebaik-baiknya, yakni yang ramah lingkungan, yang tidak mengeksploitasi dan merusak alam, persoalan kerusakan alam dan terutama persoalan sampah di Indonesia bisa teratasi.
Artikel Lainnya
-
205623/06/2020
-
217908/07/2020
-
150324/03/2020
-
Suasana Natal di Dusun yang kecil
90111/12/2023 -
Marah, Marwah dan Kultur Politik Yang Bermasalah
144606/07/2020 -
Revitalisasi Militer di Ranah Sipil
19319/03/2025