Wajah Sepak Bola Indonesia di Mata Dua Sahabat

Sewaktu saya kuliah di Jogja, saya tinggal serumah dengan dua sahabat. Satu orang berasal dari Riau. Provinsi yang terkenal kaya raya karena sumber daya alamnya. Teman satu lagi berasal dari Betawi. Sebuah daerah yang memiliki cerita tentang “Si Pitung atau pun Si Doel Anak Sekolahan”. Dua sahabat saya ini, memiliki kebanggaan masing-masing.
Sahabat dari Riau memiliki kebanggaan terhadap bahasa melayu. Bahasa daerah yang mereka pakai sehari-hari dalam pergaulan. Bahasa Melayu inilah yang kemudian dijadikan pondasi dasar Bahasa Indonesia. Bahasa pemersatu bangsa. Adapun sahabat saya yang dari Betawi memiliki kebanggaan sebab daerah tempat dia lahir dijadikan Ibu Kota Negeri ini yaitu Jakarta. Kalaupun kemudian Ibu Kota jadi pindah, beliau ini tetap memiliki kebanggaan sebagai “mantan anak ibu kota”.
Berbeda dengan saya, yang tak punya kebanggaan apapun. Baik bahasa maupun tempat dimana saya lahir tak memiliki arti yang besar di negeri ini. Untuk itu lupakan saja dimana saya lahir dan apa bahasa Ibu saya. Yang jelas saya cinta NKRI.
Meskipun kami bertiga berasal daerah yang berbeda, dengan budaya yang berbeda kami dipersatukan oleh hobi yang sama yaitu sama-sama mencintai sepak bola. Tapi soal sepak bola ini pun, dua sahabat saya itu jauh lebih jago. Mereka tahu secara pasti klub-klub yang pernah juara liga Champion (red-UEFA Champions League), nomor punggung pemain, nama pemain, nama pelatih, strategi yang digunakan, hingga jadwal pertandingan klub-klub tersebut.
Memiliki hobi yang sama, menguntungkan bagi kami. Karena di sela-sela kesibukan dua sahabat saya yang super sibuk dalam menuntut ilmu tersebut, kami masih bisa bermain PS secara bersama-sama.
Dan sekali lagi saya mengakui kehebatan dua sahabat saya ini dalam bermain Play Station (PS). Sahabat yang dari Riau, kalau maen PS hobinya otak-atik strategi klub yang beliau gunakan. Namun meskipun sudah diotak-atik kalau sudah bermain PS bertiga, beliauya selalu menjadi juru kunci.
Mungkin karena beliaunya adalah mahasiswa politik sehingga sukanya mengotak-atik strategi. Kalah-menang tak jadi soal. Yang penting happy.
Adapun sahabat saya yang dari Batawi, dalam bermain PS, jika kalah sering kali menyalahkan stik yang beliau pakai. Yang stiknya rusak kek, stiknya tidak original kek dan lain sebagainya. Mungkin karena beliau adalah mahasiswa psikologi, jadi sering melakukan psikowar terhadap kami, agar kami menjadi grogi dan akhirnya kalah.
Bahkan jika kami menang pun, beliau menyebut bahwa kemenangan itu sebuah keberuntungannya saja. Dia benar-benar memainkan pikiran dan perasaaan kami agar kami down.
Nah, sambil kami bermain PS, Kami juga sering membicarakan prestasi sepak bola Indonesia yang hingga hari ini tidak pernah masuk ke putaran piala dunia. Padahal itu sangat dirindukan seluruh masyarakat Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke.
Jangankan masuk putaran final piala dunia, juara di kawasan Asia Tenggara pun sangat susah. Kata teman saya, yang kuliah di Ilmu politik tersebut, Indonesia bukannya tak punya talenta mumpuni dalam sepak bola. Bakat-bakat muda selalu tumbuh. Namun mereka layu sebelum mencapai puncak kejayaannya.
Hal ini dikarenakan pengelolaan sepak bola yang kurang optimal, katanya. Dari pembinaan usia dini, pelaksanaan kompetisi dan lain sebagainya.
Pembinaan usia dini sering terputus karena keterbatasan fasilitas dan juga biaya. Padahal bakat sangat melimpah dan sebetulnya tak susah mencari 11 orang potensial untuk bermain bola dari sekitar 237 juta penduduk Indonesia saat itu.
Ada lagi informasi dari beliau nya bahwa kompetisi di Indonesia itu diwarnai kecurangan. Tidak sportif. Ini terbukti dengan terbongkarnya mafia bola di Indonesia. Jadi hasil pertandingan katanya bisa diatur untuk kepentingan tertentu. Sepak bola yang harusnya dijunjung dengan nilai sportivitas, karena hal ini lah membuat prestasi tidak maju-maju.
Dia menjelaskan sambil tetap mengatak-atik strategi dan mengatur formasi tim yang dia pakai dalam bermain PS. Saya pun manggut-manggut mendengar penjelasannya.
Sahabat saya satu lagi menjelaskan bahwa persoalan tim kesebelasan Indonesia kurang berprestasi lebih dikarenakan beberapa hal. Antara lain adalah postur badan orang Indonesia yang pendek. Ini mengakibatkan jangkauan kaki tidak panjang dan akan kalah dengan pemain eropa yang kakinya panjang-panjang.
Tapi teman saya itu mungkin lupa bahwa orang Amerika Latin seperti Argentina dan Brasil juga tidak terlalu tinggi. Mungkin setara dengan kita namun pandai main sepak bola bahkan juara dunia.
Masih menurut teman saya itu, sepak bola Indonesia tidak maju juga dikarenakan pemain Indonesia kurang profesional dan kurang memiliki karakter yang positif. Sebagai contoh cepat puas jika namanya mulai muncul di media. Hal itu membuatnya lupa berlatih dan berlatih dan akhirnya di level senior tidak berkembang.
Karakter negatif lainnya adalah mudah tersulut emosi, ketika di lapangan. Bukan sekali dua kali kejadian wasit dipukul pemain gara-gara dianggap tidak adil oleh para pemain. Jadilah lapangan yang seharusnya lapangan bola untuk bermain bola, menjadi lapangan tinju bebas. Orang berkejar-kejaran di lapangan bola bermain tinju. Membayangkan itu rasanya menjadi lucu.
Masih menurut kawan saya yang dari Betawi tersebut, faktor lain yang menyebabkan sepak bola Indonesia kurang berprestasi adalah faktor kedewasaan penonton. Katanya penonton atau pendukung Indonesia itu kayak anak-anak. Kalau klubnya kalah ngamuk. Ada juga yang klubnya menang juga tetap ngamuk. Akhirnya sering kali jatuh korban, bahkan korban jiwa.
Hal ini mengakibatkan sponsor malas untuk memberi dukungan, karena dianggap sia-sia mensponsori sepak bola Indonesia. Masyarakat pun malas untuk datang ke stadion takut jadi korban. Bahkan klub pun bisa kena saksi disiplin.
Penonton dan pendukung sepak bola di Indonesia juga bukan yang rasional. Ini dibuktikan seandainya timnya menang disanjung setinggi langit namun jika kalah bisa dibully habis-habisan, kata sahabat sahabat saya itu melanjutkan. Saya pun kembali manggut-manggut tanda memberikan persetujuan.
Itulah wajah sepak bola Indonesia di mata dua orang sahabat saya yang dia ungkapan sekitar satu dasawarsa lalu.
Namun kayaknya argumentasi itu juga masih relevan hingga hari ini. Ini setidaknya dibuktikan dari kabar bahwa Indonesia didenda Rp 643 juta, akibat rusuh lawan malaysia beberapa waktu lalu.
Sekarang dua sahabat saya itu sudah tak tinggal lagi di Indonesia. Mungkin juga tidak akan balik ke Indonesia. Mungkin juga mereka akan mengurus kewarganegaraan di negara tersebut.
Sambil merenung tentang masa depan sepak bola Indonesia, saya menyalakan televisi untuk sekedar bermain PS sendirian. Tanpa mereka lagi, karena entah kapan mereka akan tamasya ke Indonesia, yang merupakan tempat kelahiran mereka.
Artikel Lainnya
-
49710/11/2023
-
139528/06/2020
-
93310/07/2021
-
311306/06/2020
-
Moralitas Kant dan Rekonstruksi Pendidikan Budi Pekerti
204108/05/2020 -
Masyarakat Kita Sebenarnya Sangat Cerdas
105531/08/2020