Dilema Mahasiswa: Antara Corona dan Omnibus Law

Sebuah diskusi menarik terjadi antara saya dan beberapa teman di sebuah media online. Dari panjangnya diskusi yang terjadi dan saling lempar argumen yang melelahkan, lahir sebuah pertanyaan yang sangat mengusik: dimana sebenarnya posisi mahasiswa ditengah wabah corona dan rencana pengesahan Omnibus Law (UU CILAKA), serta sikap apa yang harus diambil?
Pertanyaan ini jelas tidak lahir tanpa alasan. Dari panjangnya diskusi tersebut, banyak argumen dari beberapa teman menunjukan sikap apatis dan kebandelan mereka atas kebijakan pemerintah tentang belajar, berdoa, dan bekerja dari rumah.
Diskusi ini dimulai ketika saya mengomentari sebuah postingan yang dibagikan oleh seorang teman kuliah, yang mana postingan itu berupa ajakan untuk mengadakam suatu konsolidasi tentang upaya menggagalkan Omnibus Law, dalam hal ini UU CILAKA yang menjadi topik yang oleh teman saya itu akan dibahas.
Ketika membagi postingan tersebut, teman kelasku menulis bagaimana nasib kaum buruh? Bagaimana nasib kaum tani? Dan bagaimana nasib kaum miskin di kota?
Membaca beberapa pertanyaan tersebut, saya lalu mengomentari dengan mempertanyakan alasan mengapa teman saya mempertanyakan nasib kaum-kaum seperti yang disebutkan akibat adanya UU CILAKA, di tengah wabah virus corona.
Bukankah yang menerima dampak buruk corona juga adalah kaum-kaum yang disebutkan, mengapa tidak berusaha menyelamatkan Indonesia dari corona dengan belajar, berdoa, dan bekerja dari rumah? Mengapa tidak lakukan diskusi online atau membuat gerakan-gerakan melalui media untuk mencoba membatalkan UU CILAKA? Atau juga menyuarakan untuk menyelamatkan Indonesia dari kelangkaan barang-barang dan kebutuhan pokok, termasuk paramedis juga merasakan kelangkaan karena barangnya habis diborong oleh yang beruang?
Lalu kami (saya dan beberapa teman yang sependapat) mengajak mereka untuk berdiam diri di rumah, menjaga jarak dan menghindari kerumunan serta keluar seperlunya. Pikirnya akan mendapat jawaban yang membangun, kami malah dicap anak rumahan, kaum rebahan dan diam di rumah untuk disusu.
Selain itu ada beberapa argumen dari lawan diskusi bersama teman-temannya yang sangat menyedihkan menurut saya, diantaranya adalah: "Berargumen tanpa aksi itu sama saja. Oleh karena itu, harus ada aksi untuk memberikan tekanan, lebih takut UU CILAKA disahkan daripada corona, dan lebih baik mati untuk revolusi."
Di tengah kekhawatiran masyarakat akan virus yang berbahaya ini, ada saja pemikiran seperti itu. Masa iya pemerintah akan mensahkan UU CILAKA di tengah wabah corona, sementara Presiden Jokowi menyampaikan pengesahan akan memakan waktu 3-5 bulan? Bukankah jika pemerintah terburu-buru mensahkan UU ini di tengah wabah virus corona justru akan menjadi mimpi buruk bagi mereka karena jelas massa akan makin banyak menolak?
Lalu, mengapa lebih takut UU CILAKA daripada corona? Bukankah UU ini belum sah sedangkan corona sudah membunuh puluhan orang, bahkan lebih banyak yang meninggal dari pada yang sembuh? Hingga tulisan ini saya buat di Indonesia sudah ada 48 orang yang meninggal sedangkan yang sembuh 29 orang. Di NTT sendiri sudah ada 92 ODP. Bukankah ini sudah cukup menampar kita kawan?
Ada pula pernyataan mati untuk revolusi. Mati untuk revolusi di tengah wabah seperti ini adalah perjuangan yang sia-sia. Dalam kerumunan yang dibuat saat aksi, tidak ada jaminan bahwa kita akan terbebas dari virus ini, malahan virus akan semakin menyebar di tengah kerumunan yang dibuat.
Kami mencoba memberikan argumen-argumen untuk meyakinkan mereka bahwa saat ini kita harus mendahulukan untuk menyelamatkan Indonesia dari corona dibandingkan UU CILAKA. Caranya adalah menghindari kerumunan dan menjaga jarak sehingga tidak terinfeksi dan tidak menyebarkan virus.
Ternyata lagi-lagi kami disambar oleh sebuah jawaban yang tidak mencerminkan dirinya sebagai seorang mahasiswa, jawabnya begini "Kan saya tidak positif, bagaimana saya menjadi penyebar? Lalu selama liburan saya sering berkumpul dan berserikat tetapi aman-aman saja".
Kawan, yang menunjukan gejala belum tentu positif dan yang tidak menunjukan gejala belum tentu negatif. Bukankah sudah jelas bahwa kita harus mawas diri? Anda sering berkumpul dan berserikat, tidak ada gejala apa-apa yang anda alami, jaminan apa yang menguatkan pernyataan ini? Setiap pulang dari perkumpulan saudara lakukan tes suhu badan dan ikut prosedur kesehtan atau tidak? Adakah pemeriksaan rutin yang dilakukan? Jangan sampai jaminan anda itu hanya karena anda merasa baik-baik saja.
Kami tidak bermaksud menakut-nakuti, hanya mengimbau dan turut membantu negara untuk saling menyelamatkan. Italia saat ini menyeramkan kawan, ribuan kasus terjadi dan ratusan orang meninggal dalam sehari, tenaga medis kesulitan menangani pasien dan non pasien. Sikap awal rakyatnya juga sama seperti sikapmu kawan.
Maksud negara mengambil kebijakan untuk berdoa, belajar dan bekerja dari rumah adalah untuk menyelamatkan rakyat dan negara. Jika masalah ini tidak segera diatasi maka dampaknya akan semakin buruk dan ujung-ujungnya orang miskin yang menerima dampak paling besar. Kaum-kaum yang saudara sebutkan itu, merekalah yang paling merasakan efeknya kawan.
Baru beberapa hari dibatasi aktivitas masyarakatnya, ekonomi merosot, rupiah anjlok, dan kelangkaan terjadi. Mereka yang beruang telah memborong semua barang yang dibutuhkan saat ini, rakyat miskin kesusahan. Jika memang kalian memperjuangkan nasib rakyat, mengapa tidak kalian teriaki orang-orang itu? Mengapa tidak meneriaki mereka yang bahkan bersedekah di tengah wabah saja susah?
Kalian dibutakan revolusi yang mengatasnamakan rakyat, namun hanya mengejar UU CILAKA. Apakah nama saudara akan lebih besar ketika berhasil membatalkan UU CILAKA dan nama saudara akan lebih kecil ketika menyelamtkan Indonesia dari corona? Renungkanlah saudara.
Saya tidak melihat dan menganggap UU CILAKA sebelah mata kawan. Banyak penolakan yang dilakukan jelas menunjukan bahwa UU CILAKA juga merugikan. Hanya saja mari kita lebih bijak memilih untuk bergerak. Suara kalian yang mengatasnamakan rakyat sangat benar, kalianlah pejuang lapangan, bermain kalian lebih jauh dari kami dan pulang kalian lebih malam daripada kami.
Menyelamatkan Indonesia tidak harus selalu dengan aksi ke jalan, cukup di rumah, kos dan kontrakan saja, anda sudah ikut menyelamatkan Indonesia. Mencegah lebih baik dari pada mengobati, namun mengobati lebih mudah dari pada mencegah karena lebih mudah merawat orang sakit daripada merawat orang sehat.
Ketika sehat jangankan menyuruhnya mandi, menyuruhnya mencuci tangan saja susah. Lain halnya saat sakit, jangankan menyuruhnya untuk tidur, menyuruhnya untuk membuka pakaian sekalipun akan ia lakukan asalkan sembuh. Silahkan kawan memilih antara yang lebih mudah ataukah yang lebih baik.
Sampai diskusi berakhir saya pun bertanya, pada posisi mana kawan akan bergerak? Jawabnya dari awal pembahasan kawan pasti sudah tahu kemana saya akan bergerak. Membatasi aktivitas mungkin saja adalah langkah mereka menghentikan aksi kami. Yah sudahlah setidaknya saya sudak ikut menghimbau.
Diamlah di rumah untuk beberapa saat, lalu akan tiba saatnya bagi anda untuk keluar dan menunjukan taring anda. Ataukah keluarlah sesaat lalu sambil menghitung waktu bagi anda untuk tidur di rumah 2x1 meter selamanya bahkan tanpa menunjukkan wajah. Ketika merasa aman, orang akan berpikir 1000 kali untuk melompati got, namun saat dalam bahaya, jangankan got, jurang sekalipun akan ia lompati bahkan tanpa berpikir.
Artikel Lainnya
-
185014/06/2020
-
164226/07/2020
-
136128/06/2020
-
Keriuhan Kapitalisme yang Tertahankan
137304/04/2021 -
Wajah Sepak Bola Indonesia di Mata Dua Sahabat
136610/10/2019 -
Blokir Kekerasan di Sekolah dengan Kegiatan Ekstrakurikuler
271219/02/2020